Kamis, 15 November 2012

Din Syamsudin Salahkan SBY

Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin selaku pemohon judicial review UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, menilai langkah Presiden SBY tidak tepat menerbitkan Perpres Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksana Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas, sebagai tindak lanjut keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Tindakan itu dianggap bertentangan dengan keputusan MK.Sebab, pembentukan unit kerja tersebut justru menyimpang dari substansi keputusan MK.
Padahal putusan MK menyatakan, sejumlah pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas dalam undang-undang tersebut dibatalkan, karena bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki hukum mengikat.
"Hemat saya, itu tidak sesuai atau bertentangan dengan keputusan MK yang secara substantif justru menekankan, agar kontrak kerja sama antara pihak luar negeri, tidak dengan pemerintah. Jadi, tidak G to B (Goverment to Bussiness) atau B to G (Bussiness to Goverment), tapi perlu B to B ( Bussiness to Bussiness), kemudian menariknya ke dalam instansi pemerintah seperti Kementerian ESDM," ujar Din di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat.
Din mengatakan, dia dapat memahami bila unit kerja di ESDM tersebut adalah langkah yang bersifat sementara dari pemerintah sampai dibentuknya undang-undang baru tentang migas sesuai UUD 1945. "Kalau unit itu sebagai lembaga permanen, yah sami mawon, tidak ada bedanya dengan BP Migas,"
Dia bersama pihak-pihak pemohon meminta MK segera memberikan klarifikasi mengenai keputusan UU Migas ini. Muhammdiyah berserta ormas dan tokoh-tokoh yang mengajukan judicial review UU Migas tidak berkepentingan terhadap eksitensi BP Migas, tapi hal ini menyangkut kepentingan kemakmuran rakyat.
"Kekayaan Sumber Daya Alam kita dalam bidang energi ini yang de facto sekarang tinggal sekian persen dikuasai oleh asing, bisa dimanfaatkan untuk sebesarnya untuk rakyat. Perlu ada regulasi yang mendorong pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk kemakmuran rakyat," ujar Din.
Pascapembubaran BP Migas, pemerintah membentuk Unit Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (UPKHM Migas). Guru Besar UI Hikmahanto Juwana mempertanyakan bagaimana status Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap.
"Prinsipnya dengan bubarnya BP Migas maka saat ini yang menjadi pihak yang berkontrak adalah Negara. Ini terjadi karena suksesi BP Migas yang oleh MK untuk sementara digantikan oleh Negara atau BUMN. Pemerintah telah menetapkan pelimpahan pihak ada di tangan negara, bukan BUMN," tulis Hikmahanto.
Menurut Hikmahanto, KKS harus tetap eksis dan berlangsung untuk menghindari gugatan mitra, utamanya dari investor asing sampai dengan KKS berakhir. Namun, dengan putusan MK, KKS menjadi mirip dengan Kontrak Karya Freeport atau Newmont yakni negara melakukan kontrak dengan perusahaan swasta.
"Permasalahan utama adalah bila ada gugatan maka negara menjadi pihak, baik di arbitrase maupun pengadilan. Putusan MK ini yang justru mengerdilkan negara, bahkan tanggung jawab negara akan menjadi terbatas," jelas Hikmahanto.
Pembatasan tanggung jawab negara berdasarkan KKS tidak bisa dilakukan mengingat UPKHM Migas bukanlah badan hukum. Ini berbeda ketika KKS dilakukan oleh BP Migas atau Pertamina sebelum berlakunya UU Migas.
"Bila MK lebih bijak, ketika BP Migas dinyatakan konstitusional seharusnya MK mengubah rejim hukum yang berlaku dari rejim kontrak menjadi rejim ijin. Rejim ijin akan mendudukkan negara dalam posisi yang lebih tinggi dibandingkan pelaku usaha," lanjut Hikmahanto.

1 komentar:

  1. Playtech casino review - DrmD
    Read DrmD's online 포천 출장마사지 casino review, including 속초 출장샵 ratings, bonuses, bet365 games, complaints, latest bonus codes and 제주도 출장안마 promotions. Discover more now Deposit: 10pMin 진주 출장안마 Withdrawal: 10pGame: Gates of Olympus

    BalasHapus