Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin selaku pemohon judicial
review UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, menilai
langkah Presiden SBY tidak tepat menerbitkan Perpres Nomor 95 Tahun 2012
tentang Pengalihan Pelaksana Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas, sebagai tindak lanjut keputusan Mahkamah Konstitusi
(MK).
Tindakan itu dianggap bertentangan dengan keputusan MK.Sebab,
pembentukan unit kerja tersebut justru menyimpang dari substansi
keputusan MK.
Padahal putusan MK menyatakan, sejumlah pasal yang
mengatur tugas dan fungsi BP Migas dalam undang-undang tersebut
dibatalkan, karena bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki hukum
mengikat.
"Hemat saya, itu tidak sesuai atau bertentangan dengan keputusan MK
yang secara substantif justru menekankan, agar kontrak kerja sama antara
pihak luar negeri, tidak dengan pemerintah. Jadi, tidak G to B
(Goverment to Bussiness) atau B to G (Bussiness to Goverment), tapi
perlu B to B ( Bussiness to Bussiness), kemudian menariknya ke dalam
instansi pemerintah seperti Kementerian ESDM," ujar Din di Gedung Dakwah
Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat.
Din mengatakan, dia dapat memahami bila unit kerja di ESDM tersebut
adalah langkah yang bersifat sementara dari pemerintah sampai
dibentuknya undang-undang baru tentang migas sesuai UUD 1945. "Kalau
unit itu sebagai lembaga permanen, yah sami mawon, tidak ada bedanya
dengan BP Migas,"
Dia bersama pihak-pihak pemohon meminta MK segera memberikan
klarifikasi mengenai keputusan UU Migas ini. Muhammdiyah berserta ormas
dan tokoh-tokoh yang mengajukan judicial review UU Migas tidak
berkepentingan terhadap eksitensi BP Migas, tapi hal ini menyangkut
kepentingan kemakmuran rakyat.
"Kekayaan Sumber Daya Alam kita dalam bidang energi ini yang de facto
sekarang tinggal sekian persen dikuasai oleh asing, bisa dimanfaatkan
untuk sebesarnya untuk rakyat. Perlu ada regulasi yang mendorong
pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk kemakmuran rakyat," ujar Din.
Pascapembubaran BP Migas, pemerintah membentuk Unit Pelaksana
Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (UPKHM Migas). Guru Besar UI
Hikmahanto Juwana mempertanyakan bagaimana status Kontrak Kerja Sama
(KKS) dengan Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap.
"Prinsipnya dengan bubarnya BP Migas maka saat ini yang menjadi pihak
yang berkontrak adalah Negara. Ini terjadi karena suksesi BP Migas yang
oleh MK untuk sementara digantikan oleh Negara atau BUMN. Pemerintah
telah menetapkan pelimpahan pihak ada di tangan negara, bukan BUMN,"
tulis Hikmahanto.
Menurut Hikmahanto, KKS harus tetap eksis dan berlangsung untuk
menghindari gugatan mitra, utamanya dari investor asing sampai dengan
KKS berakhir. Namun, dengan putusan MK, KKS menjadi mirip dengan Kontrak
Karya Freeport atau Newmont yakni negara melakukan kontrak dengan
perusahaan swasta.
"Permasalahan utama adalah bila ada gugatan maka negara menjadi
pihak, baik di arbitrase maupun pengadilan. Putusan MK ini yang justru
mengerdilkan negara, bahkan tanggung jawab negara akan menjadi
terbatas," jelas Hikmahanto.
Pembatasan tanggung jawab negara berdasarkan KKS tidak bisa dilakukan
mengingat UPKHM Migas bukanlah badan hukum. Ini berbeda ketika KKS
dilakukan oleh BP Migas atau Pertamina sebelum berlakunya UU Migas.
"Bila MK lebih bijak, ketika BP Migas dinyatakan konstitusional
seharusnya MK mengubah rejim hukum yang berlaku dari rejim kontrak
menjadi rejim ijin. Rejim ijin akan mendudukkan negara dalam posisi yang
lebih tinggi dibandingkan pelaku usaha," lanjut Hikmahanto.
Playtech casino review - DrmD
BalasHapusRead DrmD's online 포천 출장마사지 casino review, including 속초 출장샵 ratings, bonuses, bet365 games, complaints, latest bonus codes and 제주도 출장안마 promotions. Discover more now Deposit: 10pMin 진주 출장안마 Withdrawal: 10pGame: Gates of Olympus